Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عجبا لامر المومن ان امره كله خير. وليس ذالك لاحد الا للمومن, ان اصابته سراء شكو قكان خير له, وان اصابته ضراء صبر فكان خير له
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya” (HR. Muslim)
Salah satu peristiwa sejarah yang sangat monumental adalah sejarah terjadinya perang Badar. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan suci Ramadhan. Perang Badar kerap disebut sebagai Yaumul Furqan, “hari pemisah kebenaran dan kebatilan; keimanan dan kekufuran.”
Kala itu, jumlah pasukan Islam yang tidak seimbang bukan menjadi batu penghalang meraih kemenangan gemilang. Jika ditilik lebih jauh, raihan kemenangan yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah ini tidak hanya bertumpu pada kemampuan fisik dan persenjatan belaka.
Pihak musuh jauh lebih kuat, digdaya, dan jumlah pasukannnya lebih banyak dengan disuplai persenjataan yang jauh lebih canggih. Namun dalam hal ini ternyata ada satu hal yang perlu kita sadari, bahwa didalam dada umat Islam saat itu mereka memiliki iman yang bersih dari pamrih dan penghargaan, tidak mengharap apapun selain ridha Allah SWT.
Bekal yang bernama iman dan ikhlas inilah yang memberi andil besar bahwa “Kam min Fi-atin Qalîlatin Ghalabat fi-atan katsîrah bi idznillâh. (Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah).”
Pasukan tempur yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hanya diperkuat 300 orang sementara pihak tentara kafir terdiri lebih dari 1000 orang. Sungguh merupakan kondisi yang tidak seimbang. Namun Rasulullah SAW dan para sahabatnya ternyata tidak hanya mengandalkan kekuatan jasmani sebagai satu-satunya pegangan, Rasulullah SAW bersama para pasukannya pada waktu itu justru mengandalkan kekokohan keimanan dan keikhlasan, yang akhirnya membawa mereka pada kemenangan besar.
Sejarah menceritakan kisah yang berbeda untuk kita. Syahdan, saat Kaisar Byzantium, Heraklius merasa penasaran dengan kekalahan bertubi-tubi yang dialami oleh pasukannya, segera ia memanggil panglima perangnya. Ia bertanya, “Lebih banyak mana, pasukan kita dengan pasukan Islam?”
“Di setiap negeri, pasukan kita jauh lebih banyak berlipat-lipat ganda ketimbang mereka, Tuan.”
“Lantas, kenapa kita selalu mengalami kekalahan di tiap perang dengan mereka? Apa sebabnya?”
Belum sempat sang panglima menjawab, seorang kakek tua datang menengahi dialog seraya berucap, “Mereka berhasil meraih kemenangan sebab mereka bangun beribadah di waktu malam, puasa di siang hari, mereka menepati janji yang telah dibuat, memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran, serta saling melayani sesamanya. Sebaliknya kita sekalian ini memang memiliki fisik yang lebih kuat, memiliki jumlah yang jauh lebih banyak, tetapi kita adalah orang-orang yang lebih suka minum minuman keras, berzina, memakan yang haram, melanggar janji, merampok, menzalimi, menyuruh berbuat jahat dan membuat kerusakan di muka bumi.”
Pernyataan tanpa tedeng aling-aling dari seorang kakek tersebut, perlu menjadi renungan bagi kita semua. Mengapa hari ini, justru pada saat umat Islam di Indonesia mayoritas, namun keberadaan umat Islam selalu terpinggirkan di berbagai bidang kita kalah. Kita terkadang menjadi pecundang. Adakah sikap tentara romawi di atas malah mewarnai hari-hari kita: mencuri, menzalimi, tidak menepati janji, menunggak minuman keras, berzina?
Kita saksikan saat ini, semangat umat Islam untuk beribadah Hajji dan Umroh cukup tinggi, semangata umat Islam untuk sholat dan puasa juga cukup menggembirakan, namun mari kita perhatikan bagian lain: “Mengapa di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini sulit sekali menemukan orang yang memegang komitmen dengan baik, bahkan sering kita saksikan orang islam tidak mempercayai muslim yang lain?”
“mengapa dinegeri yang mayoritas muslim ini sangat mudah menyaksikan terjadinya perzinaan, pencurian, narkoba dan minuman keras, serta kerusakan di muka bumi, bahkan pertumpahan darah (na’udzubillah) hanya karena perkara kecil seperti maraknya tawuran pelajar?”
Wahai remaja muslim!!! fenomena apa sebenarnya yang sedang terjadi, tatkala ternyata tidak sedikit remaja muslim yang asing dengan masjid, menyia-nyiakan waktu, mengikuti gaya hidup bebas yang jauh dari ajaran agama mulya ini. Semangat belajarnya rendah, semangat meraih suksesnya rendah, semangat meraih posisi penting di negeri ini juga rendah. perilakunya seperti bebek yang hanya bisa mengekor perilaku kebanyakan orang lain. inikah yang dinamakan fenomena “ghutsaiyah”? banyak jumlahnya tetapi hanya berupa buih, tidak membawa pengaruh apa-apa.
Ramadhan kali ini hendanya manjadi moment kesadaran kolektif kita akan kondisi kaum Muslimin yang sangat jauh dari gambaran ideal sebagaimana kaum Muslim terdahulu yang begitu agung. Ramadhan kali ini seharusnya menjadi moment agar semakin menambah keinginan dan semangat kita untuk mewujudkan umat ini sebagai “khoiru ummah” yaitu sebaik-baik umat yang telah dipilih Allah untuk menjadi saksi atas seluruh manusia karena perbuatan, karya dan perilakunya yang mulya dan membanggakan dihadapan Allah SWT.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menulis surat kepada Khalid bin Walid usai berhasil menaklukkan Byzamtium, Ibu Kota Romawi Timur, “Kalian orang-orang Islam tidak akan dapat dikalahkan karena jumlah yang kecil, tetapi, kalian pasti dapat dikalahkan walapun jumlah kalian lebih banyak melebihi jumlah musuh jika kalian terlibat dalam dosa.”
Selamat datang Ramadhan yang agung, meski berada pada kondisi pandemic covid-19, namun orang beriman senantiasa mampu menjadikan seluruh moment sebagai kebaikan dalam hidupnya. Kita manfaatkan Tamu Allah SWT yang agung bernama bulan suci Romadhon kali ini dengan puasa yang berkualitas, tarowih di rumah, berbuka dan sahur bersama keluarga di rumah, tadarus di rumah, I’tikaf dirumah, dan belajar di rumah.
Bila kita ingin tahu apakah kita ini memiliki keimanan seperti apa, maka mari kita jawab dengan bukti nyata bahwa sekalipun kondisi kita sedang pandemic covid-19 namun kita tetap mampu menjalani ibadah Romadhon ini dengan sebaik-baiknya, sehingga insyaAllah kita keluar dari Romadhon tahun ini dengan peningkatan ketaqwaan yang signifikan.
Wallahu a’lam.
(oleh: syamsudin)